PENELITIAN PERKEMBANGAN

Pengertian penelitian perkembangan

a) Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat perkembangan suatu objek penelitian dari awal sampai akhir.

Tujuan penelitian perkembangan

a) Untuk menyelidiki pola pertumbuhan/perubahan yang dihubungakan dengan waktu.

b) Menjawab pertanyaan penelitian yang berhubungan dengan : pola pertumbuhan, laju, arah, urutan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi objek penelitian.

Ciri-ciri penelitian perkembangan

Bersifat longitudinal atau cross sectional.

Contoh penelitian perkembangan

a) Penelitian laju pertumbuhan anak dari usia 3 tahun sampai 5 tahun.

b) Penelitian mengenai sifat-sifat dan laju pertumbuhan anak balita, remaja dan dewasa

PENELITIAN KUALITATIF

Penelitian kualitatif lebih menekankan pada penggunaan diri si peneliti sebagai alat. Peneliti harus mampu mengungkap gejala sosial di lapangan dengan mengerahkan segenap fungsi inderawinya. Dengan demikian, peneliti harus dapat diterima oleh responden dan lingkungannya agar mampu mengungkap data yang tersembunyi melalui bahasa tutur, bahasa tubuh, perilaku maupun ungkapan-ungkapan yang berkembang dalam dunia dan lingkungan responden.

Ciri-ciri Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian lain. Untuk mengetahui perbedaan tersebut ada 15 ciri penelitian kualitatif yaitu:

1.Dalam penelitian kualitatif data dikumpulkan dalam kondisi yang asli atau alamiah (natural setting).
2.Peneliti sebagai alat penelitian, artinya peneliti sebagai alat utama pengumpul data yaitu dengan metode pengumpulan data berdasarkan pengamatan dan wawancara
3.Dalam penelitian kualitatif diusahakan pengumpulan data secara deskriptif yang kemudian ditulis dalam laporan. Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka.
4.Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses daripada hasil, artinya dalam pengumpulan data sering memperhatikan hasil dan akibat dari berbagai variabel yang saling mempengaruhi.
5.Latar belakang tingkah laku atau perbuatan dicari maknanya. Dengan demikian maka apa yang ada di balik tingkah laku manusia merupakan hal yang pokok bagi penelitian kualitatif. Mengutamakan data langsung atau “first hand”. Penelitian kualitatif menuntut sebanyak mungkin kepada penelitinya untuk melakukan sendiri kegiatan penelitian di lapangan.
6.Dalam penelitian kualitatif digunakan metode triangulasi yang dilakukan secara ekstensif baik tringulasi metode maupun triangulasi sumber data.
7.Mementingkan rincian kontekstual. Peneliti mengumpulkan dan mencatat data yang sangat rinci mengenai hal-hal yang dianggap bertalian dengan masalah yang diteliti.
8.Subjek yang diteliti berkedudukan sama dengan peneliti, jadi tidak sebagai objek atau yang lebih rendah kedudukannya.
9.Mengutamakan perspektif emik, artinya mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dan segi pendiriannya.
10.Verifikasi. Penerapan metode ini antara lain melalui kasus yang bertentangan atau negatif.
11.Pengambilan sampel secara purposif. Metode kualitatif menggunakan sampel yang sedikit dan dipilih menurut tujuan penelitian.
12.Menggunakan “Audit trail”. Metode yang dimaksud adalah dengan mencantumkan metode pengumpulan dan analisa data.
13.Mengadakan analisis sejak awal penelitian. Data yang diperoleh langsung dianalisa, dilanjutkan dengan pencarian data lagi dan dianalisis, demikian seterusnya sampai dianggap mencapai hasil yang memadai.
14.Teori bersifat dari dasar. Dengan data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dapat dirumuskan kesimpulan atau teori.

PENELITIAN ILMIAH

Penelitian Ilmiah adalah kegiatan sistematik, dengan menggunakan konsep-konsep teori-teori dan pendekatan yang relevan dan baku, untuk mengumpulkan informasi, fakta-fakta atau data dengan menggunakan metode-metode yang relevan atau baku, untuk digunakan sebagai bukti-bukti atau sebagai pembuktian dalam upaya pembuatan teori.

Konsep-konsep dan teori yang relevan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh sipeneliti, digunakan untuk menciptakan sebuah kerangka teori atau model teori. Kerangka atau model teori ini digunakan sebagai acuan untuk membuat hipotesa, yaitu sebuah asumsi, atau dugaan, yang merupakan jawaban sementara karena belum ada bukti-bukti atau pembuktian mengenai kebenarannya. Sebuah hipotesa dibuat dengan melakukan pertanyaan empirik atau logika mengenai hubungan-huubungan diantara dua satuan permasalahan, dua satuan katagori, fakta-fakta, atau dua variabel atau lebih. Hipotesa adalah landasan bagi pembuatan masalah penelitian. Sebuah kerangka teori atau model teori yang dibuat juga sebagai acuan untuk pendekatan atau metodologi yang digunakan, yaitu pendekatan kwantitatif atau pendekatan kwalitatif.

Sebuah masalah penelitian tidaklah sama dengan masalah sosial, masalah politik, atau masalah-masalah empirik lainnya, tatapi sebuah masalah teoretikal. Masalah penelitian itu ada, karena diciptakan, yaitu dengan menggunakan hipotesa yang dibuat, dan karena memang sudah ada dalam kehidupan yang nyata.

Teori-teori yang dihasilkan dengan pendekatan kwantitatif terdiri atas: (1) Teori-teori subtantif; dan (2) Teori-teori metodologi. Sedangkan teori-teori yang dihasilkan oleh dan dengan menggunakan teori kwalitatif adalah teori-teori yang bercorak subtantif.

Setiap kegiatan penelitian ilmiah harus berlandaskan metode ilmiah, yaitu cara-cara yang berlaku secara baku dalam pengumpulan data , agar data yang dikumpulkan tersebut dapat dijamin obyektifitas dan keahliannya. Metode ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi cara-cara untuk melakukan kegiatan penelitian agar hasil penelitian tersebut dapat menciptakan suatu pengetuhuan yang ilmiah atau obyektif. Dalam sains atau ilmu-ilmu alamiah dilakukan dengan cara menggunakan metode pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan ferifikasi. Dalam ilmu-ilmu sosial dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan, wawancara, eksperimen, (dalam bidang-bidang terbatas, seperti psikologi eksperimental), generalisasi, verifikasi dan pengamatan terlibat dalam humaniora dilakukan dengan menggunakan metode verstehen, interpretif (tafsir) atau hermeunetika (hermeunities).

Masing-masing metode tersebut mempunyai persaratan-persaratan untuk menjaga ke-obyektifan dan kesahihan data. Obyektifitas ilmuwan dijaga dengan melalui adanya: (1) Komuniti atau Masyarakat Ilmiah, yaitu kumpulan ilmuwan yang terwujud sebagai organisasi formal maupun yang informal tempat para ilmuwan mendiskusikan dan menguji keahlian dari penemuan-penemuan yang diperolah melalui hasil-hasil penelitian mereka, (2) Jurnal Ilmiah, tempat mereka menyampaikan hasil-hasil penelitian yang terbuka untuk kritik dan pengembangannya.

Di samping itu, dalam Ilmu-ilmu sosial, obyektifitas dan keahlian data juga diusahakan melalui suatu sikap, sbb:

1. Ilmuwan harus mendekati segala sesuatu yang menjadi sasaran kajiannya dengan penuh keraguan mengenai kebenaran obyektifnya atau dengan sikap skeptif.
2. Ilmuwan harus obyektif dalam menilai segala sesuatu, yaitu harus membebaskan dirinya dari sikap-sikap pribadinya, dari keinginan-keinginannya, dan dari kecenderungan-kecenderungannya.

Untuk itu, secara etika ilmuwan harus bersikap atau netral terbebas dari membuat penelitian-penelitian menurut nilai-nilai budayannya mengenai hasil-hasil penemuannya, atau dengan kata lain, harus mehindarkan diri dari kecenderungan-kecenderungan menghakimi secara formal para pemberi informasi (informan) berdasarkan hasil-hasil penemuannya. Dalam hal ini dia hanya dapat memberikan penilaian atas data yang telah dikumpulkan saja. Begitu juga dalam kesimpulan-kesimpulannya sipeneliti tidak boleh menganggap bahwa datanya adalah data akhir, mutlak, dan merupakan kebenaran universal. Karena kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya hanya berlaku secara relatif sesuai dengan waktu atau tempat dimana penelitian itu dilakukan, dan sesuai dengan masalah yang ditelitinya, serta kerangka atau model teori yang digunakannya. Karena itu, dalam setiap kegiatan penelitian ilmiah ada serangkaian pedoman yang harus diikuti: yaitu;

1. Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh peneliti lainnya, karena itu dalam setiap laporan penelitian harus disebitkan metode apa yang telah digunakan dan bagaimana menggunakannya dalam pengumpulan data selama penelitian dilakukan.
2. Definisi-definisi yang dibuat dalam definisi-definisi yang benar dan berdasarkan pada konsep laporan atau teori-teori yang sudah ada atau baku, karena itu dalam setiap laporan hasil penelitian selalu dinyatakan atau didefinisikan konsep-konsep dan teori-teori yang digunakan berikut acuan atau referensi kepustakaannya.
3. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode-metode penelitian yang baku.
4. Hasil-hasil penelitian dari sebuah penelitian yang telah dilakukan akan ditemukan ulang oleh peneliti lainnya, bila masalah penelitiannya, pendekatan, dan prosedur penelitiannya sama dengan yang dilakukan oleh sipeneliti yang baru.

PENELITIAN KASUS

Banyak pengertian penelitian studi kasus telah dikemukakan oleh para peneliti maupun para penulis buku tentang penelitian studi kasus (Creswell, 1998). Secara umum, pengertian-pengertian tersebut mengarah pada pernyataan bahwa, sesuai dengan namanya, penelitian studi kasus adalah tentang penelitian yang memandang sesuatu yang diteliti sebagai ‘kasus’.

Kelompok pertama berpendapat bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian terhadap suatu obyek penelitian yang disebut sebagai ‘kasus’. Kelompok ini menekankan bahwa penelitian studi kasus merupakan penelitian yang dilakukan terhadap obyek atau sesuatu yang harus diteliti secara menyeluruh, utuh dan mendalam.

Sedangkan yang kedua memandang bahwa penelitian studi kasus adalah sebuah metoda penelitian yang dibutuhkan untuk meneliti atau mengungkapkan secara utuh dan menyeluruh terhadap ‘kasus’. Meskipun tampaknya hampir sama dengan kelompok yang pertama, kelompok ini berangkat dari adanya kebutuhan metoda untuk meneliti secara khusus tentang obyek atau ‘kasus’ yang menarik perhatian untuk diteliti.

Kelompok pengertian yang pertama berasal dari pengertian yang dikemukakan oleh Guba dan Lincoln (1985), lebih diperjelas oleh Stake (1994 dan 2005), kemudian dikembangkan oleh Creswell (1998) dan Dooley (2002), serta diikuti oleh Hancock dan Algozzine (2006), yang menyatakan bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian yang dilakukan terhadap suatu ‘obyek’, yang disebut sebagai ‘kasus’, yang dilakukan secara seutuhnya, menyeluruh dan mendalam dengan menggunakan berbagai macam sumber data. Lebih khusus lagi, Stake (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus bukanlah sebuah pilihan metodologis, tetapi sebuah pilihan untuk mencari apa yang perlu diteiiti. Perhatikan pernyataan-pernyataan berikut ini:

* A case study is an exploration of a ‘bounded system’ or a case (or multiple cases) over time through detailed, in-depth data collection involving multiple sources of information rich in context (Creswell, 1988, hal. 61).
* Case study is not a methodological choice but a choice of what to be studied (Stake, 2005, hal. 443).

Menurut kelompok pengertian ini, pada penelitian kualitatif, terdapat obyek penelitian yang harus dipandang secara khusus, agar hasil penelitiannya mampu menggali substansi terperinci dan menyeluruh dibalik fakta. Obyek penelitian yang demikian, yang disebut sebagai ‘kasus’, harus dipandang sebagai satu kesatuan sistem dibatasi (bounded system) yang terikat pada tempat dan kurun waktu tertentu. Sebagai sistem tertutup, kasus terbentuk dari banyak bagian, komponen, atau unit yang saling berkaitan dan membentuk suatu fungsi tertentu (Stake, 2005). Oleh karena itu, metoda yang tepat untuk digunakan untuk meneliti obyek yang demikian adalah yang dapat mengungkapkan mengapa dan bagaimana bagian, komponen, atau unit tersebut saling berkaitan untuk membentuk fungsi. Metoda tersebut mampu menggali fakta dari berbagai sumber data, menganalisis dan menginterpretasikannya untuk mengangkat substansi mendasar yang terdapat dibalik kasus yang diteliti.

Tidak semua obyek dapat diteliti dengan menggunakan penelitian studi kasus (Flyvbjerg 2006; Stake, 1995 dan 2005; Creswell, 1998). Menurut Creswell (1998), suatu obyek dapat diangkat sebagai kasus apabila obyek tersebut dapat dipandang sebagai suatu sistem yang dibatasi yang terikat dengan waktu dan tempat kejadian obyek. Mengacu pada kriteria tersebut, beberapa obyek yang dapat diangkat sebagai kasus dalam penelitian studi kasus adalah kejadian atau peristiwa (event), situasi, proses, program, dan kegiatan (Stake, 1995; Creswell, 1998; Hancock dan Algozzine, 2006), seperti yang dijelaskan oleh Creswell (2002) berikut ini:

* A case study is a problem to be studied, which will reveal an in-depth understanding of a “case” or bounded system, which involves understanding an event, activity, process, or one or more individuals. (Creswell, 2002, hal 61)

Creswell (1998) menjelaskan bahwa suatu penelitian dapat disebut sebagai penelitian studi kasus apabila proses penelitiannya dilakukan secara mendalam dan menyeluruh terhadap kasus yang diteliti, serta mengikuti struktur studi kasus seperti yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (1985), yaitu: permasalahan, konteks, isu, dan pelajaran yang dapat diambil. Banyak penelitian yang telah mengikuti struktur tersebut tetapi tidak layak disebut sebagai penelitian studi kasus, karena tidak dilakukan secara menyeluruh dan mendalam. Penelitian-penelitian tersebut pada umumnya hanya menggunakan jenis sumber data yang terbatas, tidak menggunakan berbagai sumber data seperti yang disyaratkan dalam penelitian studi kasus, sehingga hasilnya tidak mampu mengangkat dan menjelaskan substansi dari kasus yang diteliti secara fundamental dan menyeluruh. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dan kecermatan untuk mencantumkan kata ‘studi kasus’ pada judul suatu penelitian, khususnya penelitian kualitatif.

Sementara itu, kelompok pengertian yang lain berkembang berdasarkan pendapat Yin (1984 dan 2003a), yang secara khusus memandang penelitian studi kasus sebagai sebuah metoda penelitian. Dibandingkan dengan kelompok yang pertama, kelompok ini lebih banyak diikuti, karena melalui buku-bukunya, Yin dianggap mampu menjelaskan secara terperinci kekhususan metoda penelitian studi kasus yang harus diikuti berikut dengan contoh-contoh terapannya (Meyer, 2001). Menurut Yin (1984, 2003a, 2003b) penelitian studi kasus adalah salah satu metoda penelitian yang meneliti fenomena kontemporer dengan menggunakan pendekatan penelitian naturalistik, seperti penjelasannya berikut ini:

* The case study research method as an empirical inquiry that investigates a contemporary phenomenon within its real-life context; when the boundaries between phenomenon and context are not clearly evident; and in which multiple sources of evidence are used (Yin, 1984, hal. 23; Yin, 2003a, hal 13).

Menurut pengertian di atas, penelitian studi kasus adalah sebuah metoda penelitian yang secara khusus menyelidiki fenomena kontemporer yang terdapat dalam konteks kehidupan nyata, yang dilaksanakan ketika batasan-batasan antara fenomena dan konteksnya belum jelas, dengan menggunakan berbagai sumber data. Dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, secara khusus Yin (2003a) menjelaskan bahwa obyek yang dapat diangkat sebagai kasus bersifat kontemporer, yaitu yang sedang berlangsung atau telah berlangsung tetapi masih menyisakan dampak dan pengaruh yang luas, kuat atau khusus pada saat penelitian dilakukan.

Secara sekilas, metoda penelitian ini sama dengan metoda penelitian kualitatif pada umumnya. Tetapi jika penjelasan Yin (2003a) secara teoritis maupun dalam bentuk contoh-contoh praktisnya (Yin, 2003b) dipelajari lebih seksama, maka akan didapatkan beberapa kekhususan yang menyebabkan metoda penelitian ini memiliki perbedaan siginifikan dengan metoda penelitian kualitatif lainnya.

Salah satu kekhususan penelitian studi kasus sebagai metoda penelitian adalah pada tujuannya. Penelitian studi kasus sangat tepat digunakan pada penelitian yang bertujuan menjawab pertanyaan ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ (Yin, 2003a) terhadap sesuatu yang diteliti. Melalui pertanyaan penelitian yang demikian, substansi mendasar yang terkandung di dalam kasus yang diteliti dapat digali dengan mendalam. Dengan kata lain, penelitian studi kasus tepat digunakan pada penelitian yang bersifat eksplanatori, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk menggali penjelasan kasusalitas, atau sebab dan akibat yang terkandung di dalam obyek yang diteliti. Penelitian studi kasus tidak tepat digunakan pada penelitian eksploratori, yaitu penelitian yang berupaya menjawab pertanyaan ‘siapa’, ‘apa’, ‘dimana’, dan ‘seberapa banyak’, sebagaimana yang dilakukan pada metoda penelitian eksperimental (Yin, 2003a).

Kekhususan penelitian studi kasus yang lain adalah pada sifat obyek yang diteliti. Menurut Yin (2003a), kasus di dalam penelitian studi kasus bersifat kontemporer, masih terkait dengan masa kini, baik yang sedang terjadi, maupun telah selesai tetapi masih memiliki dampak yang masih terasa pada saat dilakukannya penelitian. Oleh karena itu, penelitian studi kasus tidak tepat digunakan pada penelitian sejarah, atau fenomena yang telah berlangsung lama, termasuk kehidupan yang telah menjadi tradisi atau budaya. Sifat kasus yang demikian juga didukung oleh Creswell (1998) yang menyatakan bahwa penelitian studi kasus berbeda dengan penelitian grounded theory dan phenomenologi yang cenderung berupaya meneliti teori-teori klasik, atau defintif, yang telah mapan (definitive theories) yang terkandung di dalam obyek yang diteliti.

Pendapat Yin (2003a dan 2003b) tersebut diatas didukung oleh Dooley, (2005), dan VanWynsberghe (2007) yang menyatakan bahwa kasus sebagai obyek penelitian dalam penelitian studi kasus digunakan untuk memberikan contoh pelajaran dari adanya suatu perlakuan dalam konteks tertentu. Kasus yang dipilih dalam penelitian studi kasus harus dapat menunjukkan terjadinya perubahan atau perbedaan yang diakibatkan oleh adanya perilaku terhadap konteks yang diteliti. Menurut mereka, penelitian studi kasus pada awalnya bertujuan untuk mengambil lesson learned yang terdapat dibalik perubahan yang ada, tetapi banyak penelitian studi kasus yang ternyata mampu menunjukkan adanya perbedaan yang dapat mematahkan teori-teori yang telah mapan, atau menghasilkan teori dan kebenaran yang baru. Untuk lebih jelasnya, perhatikan pernyataan-pernyataan mereka berikut ini:

* Case studies aim to give the reader a sense of “being there” by providing a highly detailed, contextualized analysis of an “an instance in action”. The researcher carefully delineates the “instance,” defining it in general terms and teasing out its particularities (VanWynsberghe, 2007, hal. 4).
* The case study is ideal for generalizing using the type of test that Karl Popper called “falsification,” which in social science forms part of critical reflexivity. Falsification is one of the most rigorous tests to which a scientific proposition can be subjected: If just one observation does not fit with the proposition, it is considered not valid generally and must therefore be either revised or rejected (Flyvbjerg, 2006, hal. 225).
* Case study research is one method that excels at bringing us to an understanding of a complex issue and can add strength to what is already known through previous research (Dooley, 2005, hal. 335).
* The advantages of the case study method are its applicability to reallife, contemporary, human situations and its public accessibility through written reports. Case study results relate directly to the common reader’s everyday experience and facilitate an understanding of complex real-life situations (Dooley, 2005, hal. 344).

Dari sifat kasusnya yang kontemporer, dapat disimpulkan bahwa penelitian studi kasus cenderung bersifat memperbaiki atau memperbaharui teori. Dengan kata lain, penelitian studi kasus berupaya mengangkat teori-teori kotemporer (contemporary theories). Penelitian studi kasus berbeda dengan penelitian grounded theory, phenomenologi dan ethnografi yang bertujuan meneliti dan mengangkat teori-teori mapan atau definitif yang terkandung pada obyek yang diteliti (Meyer, 2001). Ketiga jenis penelitian tersebut berupaya mengangkat teori secara langsung dari data temuan di lapangan (firsthand data) dan cenderung menghindari pengaruh dari teori yang telah ada. Sementara itu, penelitian studi kasus menggunakan teori yang sudah ada sebagai acuan untuk menentukan posisi hasil penelitian terhadap teori yang ada tersebut. Posisi teori yang dibangun dalam penelitian studi kasus dapat sekedar bersifat memperbaiki, melengkapi atau menyempurnakan teori yang ada berdasarkan perkembangan dan perubahan fakta terkini. Meskipun demikian, banyak hasil penelitian studi kasus yang berhasil mamatahkan teori yang ada dan menggantikannya dengan teori yang baru (Dooley, 2005).

Menurut Yin (2003a), posisi pemanfaatan teori yang telah ada di dalam penelitian studi kasus dimaksudkan untuk memberikan arah penelitian. Yin (2003a) menyebut arahan yang dibangun pada awal proses penelitian tersebut sebagai ‘proposisi’. Meskipun tampaknya mirip, peran dan fungsi proposisi memiliki perbedaan yang signifikan dengan hipotesis pada penelitian kuantitatif. Jika hipotesis merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian, proposisi dibangun bukan untuk menetapkan jawaban sementara, tetapi merupakan arahan teoritis yang digunakan untuk membangun protokol penelitian. Protokol penelitian adalah petunjuk praktis pengumpulan data yang harus diikuti oleh peneliti agar penelitian terfokus pada konteksnya. Pada proses analisis data, proposisi kembali digunakan sebagai pijakan untuk mengetahui posisi hasil penelitian terhadap teori-teori yang ada. Dengan mengetahui posisi tersebut, dapat ditetapkan apakah hasil penelitiannya mendukung, memperbaiki, memperbaharui, atau bahkan mematahkan teori yang ada. Creswell (1998) menyebut penggunaan kajian teori pada proses awal penelitian yang demikian sebagai kajian before-end theory.

Sedikit berbeda dengan pendapat Yin diatas, Stake (1994 dan 2005) dan Creswell (1998) menyatakan bahwa teori dapat digunakan sebagai acuan di dalam proses analisis, setelah fakta terhadap kasus diperoleh. Kajian posisi fakta terhadap teori dilakukan pada bagian akhir (after-end theory) tersebut dilakukan untuk menentukan posisi hasil penelitian terhadap teori yang ada. Hal ini dimaksudkan agar pada pengumpulan data dapat dilakukan lebih leluasa, tidak terlalu terikat pada arahan atau prinsip-prinsip tertentu.

Seperti halnya Stake (1995 dan 2005) dan Creswell (1998), Yin (2003a) berpendapat bahwa penelitian studi kasus menggunakan berbagai sumber data untuk mengungkapkan fakta dibalik kasus yang diteliti. Keragaman sumber data dimaksudkan untuk mencapai validitas dan realibilitas data, sehingga hasil penelitian dapat diyakini kebenarannya. Fakta dicapai melalui pengkajian keterhubungan bukti-bukti dari beberapa sumber data sekaligus, yaitu dokumen, rekaman, observasi, wawancara terbuka, wawancara terfokus, wawancara terstruktur dan survey lapangan. Disamping fakta yang mendukung proposisi, fakta yang bertentangan terhadap proposisi juga diperhatikan, untuk menghasilkan keseimbangan analisis, sehingga obyektivitas hasil penelitian dapat terjaga.

Seperti telah dijelaskan di depan, meskipun tampaknya berbeda, kedua kelompok pengertian tersebut pada dasarnya menuju pada satu pemahaman yang sama. Keduanya memberikan penjelasan yang tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi. Kelompok pengertian yang pertama memulai penjelasan dari adanya obyek penelitian, yang disebut sebagai kasus, yang membutuhkan jenis penelitian kualitatif yang tersendiri, dengan metoda penelitian yang khusus. Sementara itu, kelompok yang kedua memandang penelitian studi kasus sebagai salah satu jenis metoda penelitian kualitatif yang tepat digunakan untuk meneliti suatu obyek yang layak disebut sebagai kasus. Kedua kelompok pendapat ini memiliki kesamaan pemahaman yaitu menempatkan penelitian studi kasus sebagai jenis penelitian tersendiri, sebagai salah satu jenis penelitian kualitatif.

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian yang meneliti fenomena kontemporer secara utuh dan menyeluruh pada kondisi yang sebenarnya, dengan menggunakan berbagai bentuk data kualitatif. Pengertian ini mengacu pada lima karakteristik utama penelitian studi kasus yang dirumuskan dari pengkajian terhadap beberapa pengertian-pengertian yang telah dilakukan di depan, yaitu:

1. Menempatkan obyek penelitian sebagai kasus, yaitu fenomena yang dipandang sebagai suatu sistem kesatuan yang menyeluruh, tetapi terbatasi dalam kerangka konteks tertentu.
2. Memandang kasus sebagai fenomena yang bersifat kontemporer, yang sedang terjadi, telah selesai terjadi tetapi masih memiliki dampak yang dapat dirasakan pada saat penelitian dilaksanakan, atau yang dapat menunjukkan perbedaan dengan fenomena yang biasa terjadi.
3. Dilakukan pada kondisi yang sebenarnya, dengan menggunakan pendekatan penelitian naturalistik. Dengan kata lain, penelitian studi kasus lebih tepat menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.
4. Menggunakan berbagai sumber data, sebagai upaya untuk mencapai validitas dan realibilitas penelitian.
5. Menggunakan teori sebagai acuan penelitian, baik untuk menentukan arah, konteks, maupun posisi hasil penelitian.

I L M U G I Z I

Mengapa mengkosumsi ASI lebih baik dari pada susu Sapi sedangkan kita ketahui bersama kadar laktosa susu sapi lebih tinggi dibanding ASI?

Jawaban:

Susu mengandung campuran sempurna vitamin,mineral, protein dan lemak untuk pertumbuhan dan perkembangan optimal. Tidak diragukan lagi air susu ibu merupakan salah satu keajaiban alam. Sedangkan Susu sapi hasil pasteurisasi (sterilisasi) memang baik untuk anak, namun jangan memberikan susu pasterusrisasi sebagai susu 'pokoknya'. Hal ini karena kandungan zat besinya sudah hilang sehingga tidak bagus jika diberikan. Susu sapi baiknya diberikan sesekali saja, mengingat kandungan gizi yang tinggi terutama tinggi lemaknya.

ASI eksklusif adalah makanan terbaik yang harus diberikan kepada bayi, karena di dalamnya terkandung hampir semua zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi. Karena ada lebih dari 100 jenis zat gizi dalam ASI antara lain AA, DHA, Taurin dan Spingomyelin yang tidak terdapat dalam susu sapi. Beberapa produsen susu formula mencoba menambahkan zat gizi tersebut, tetapi hasilnya tetap tidak bisa menyamai kandungan gizi yang terdapat dalam ASI.

Salah satu hal yang menyebabkan ASI sangat dibutuhkan bagi perkembangan bayi yang baru lahir adalah kandungan minyak omega-3 asam linoleat alfa. Selain sebagai zat penting bagi otak dan retina manusia, minyak tersebut juga sangat penting bagi bayi yang baru lahir. Omega-3 secara khusus sangat penting selama masa kehamilan dan pada tahap-tahap awal usia bayi yang dengannya otak dan sarafnya berkembang secara nomal. Para ilmuwan secara khusus menekankan pentingnya ASI sebagai penyedia alami dan sempurna dari omega-3.

ASI bukan hanya memberi manfaat bagi bayi, namun juga memberikan manfaat bagi ibu yang menyusui. Manfaat tersebut berasal dari kandungan zat dalam ASI, hormon yang dikandung ASI, maupun efek dari menyusui.
Manfaat bagi bayi
Colostrum sebagai zat antibodi yang berguna untuk melindungi bayi dari bakteri dan virus yang mudah masuk ke dalam tubuh. Colostrum juga membantu dalam mengeluarkan mekonium atau kotoran bayi yang pertama berwarna hitam kehijauan.
• Sari-sari makanan yang ada dalam ASI bermanfaat untuk mempercepat pertumbuhan sel-sel otak dan perkembangan sistem saraf.
• Minyak omega-3 asam linoleat alfa adalah zat penting bagi otak dan retina manusia, minyak tersebut juga sangat penting bagi bayi yang baru lahir.
• Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang terbanyak dalam ASI yang berfungsi sebagai neuro-transmitter dan berperan penting untuk proses maturasi sel otak.
• Decosahexanoic Acid (DHA) dan Arachidonic Acid (AA) adalah asam lemak tak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acids) yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel otak yang optimal. Jumlah DHA dan AA dalam ASI sangat mencukupi untuk menjamin pertumbuhan dan kecerdasan anak.
• Leptin Hormone di dalam ASI memiliki peran utama dalam metabolisme lemak.
• Laktoferin yaitu sejenis protein yang merupakan komponen zat kekebalan yang mengikat zat besi di saluran pencernaan.
• Lysosim , enzym yang melindungi bayi terhadap bakteri (E. coli dan salmonella) dan virus. Jumlah lysosim dalam ASI 300 kali lebih banyak dari pada susu sapi
• Faktor Bifidus , sejenis karbohidrat yang mengandung nitrogen, menunjang pertumbuhan bakteri lactobacillus bifidus. Bakteri ini menjaga keasaman flora usus bayi dan berguna untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang merugikan.
• Dengan menghisap payudara, Koordinasi saraf menelan, menghisap dan bernafas yang terjadi pada bayi baru lahir dapat lebih sempurna.

TUJUAN PARTAI POLITIK

Berdasarkan basis sosial dan tujuan partai politik dibagi menjadi empat tipe yaitu:

1. Partai politik berdasarkan lapisan masyarakat yaitu bawah, menengah dan lapisan atas.
2. Partai politik berdasarkan kepentignan tertentu yaitu petani, buruh dan pengusaha.
3. Partai politik yang didasarkan pemeluk agama tertentu.
4. Partai politik yang didasarkan pada kelompok budaya tertentu.

SISTEM PARTAI POLITIK

Maurice Duverger membagi sistem partai politik menjadi tiga sistem utama yaitu[ 6] :

A. Sistem partai Tunggal

Sistem partai ini biasanya berlaku di dalam negara-negara Komunis seperti Cina dan Uni Soviet

B. Sistem dua partai

Sistem partai seperti ini dianut sebagian negera yang menggunakan paham liberal pemilihan di negara-negara tersebut mengguanakan sistem distrik. Negara yang menganut sistem dua partai adalah Amerika Serikat dan Inggris.

C. Sistem Multipartai

Sistem partai seperti ini dianut oleh negara Belanda, Perancis, di dalam ssitem ini menganut partai mayoritas dan minoritas dan diikuti oleh lebih dari dua partai.

FUNGSI-FUNGSI PARTAI POLITIK

Partai politik sebagai sebuah instrumen politik memiliki beberapa macam fungsi partai politik diantaranya. Pertama, melakukan sosialisasi politik, pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat Kedua, rekrutmen politik yaitu seleksi dan pemilihan atau pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik.
Ketiga, partisipasi politik, kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan ikut menentukan pemimpin pemerintahan.Empat, pemandu kepentingan, mengatur lalu lintas kepentingan yang seringkali bertentangan dan memiliki orientasi keuntungan sebanyak-banyaknya.
Lima, komunikasi politik, partai politik melakukan proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah.Enam, pengendalian konflik, partai politik melakukan pengendalian konflik mulai dari perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar individu atau kelompok. Tujuh, Kontrol politik, partai politik melakukan kegiatan untuk menunjukan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi kebijakan atau pelaksaan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

DEFENISI PARTAI POLITIK

Partai politik, per definisi, merupakan sekumpulan orang yang secara terorganisir mem-bentuk sebuah lembaga yang bertujuan merebut kekuasaan politik secara sah untuk bisa menjalankan program-programnya. Parpol biasanya mempunyai asas, tujuan, ideolog, dan misi tertentu yang diterjemahkan ke dalam program-programnya. Parpol juga mempunyai pengurus dan massa[3].

Ada pula Roger F Saltou yang mendefinisikan partai politik sebagai kelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat[ 4]. Mengacu pada dua definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa partai politik merupakan hasil pengorganisasian dari sekelompok orang agar memperoleh kekuasaan untuk menjalankan program yang telah direncanakan.

AKTOR KOMUNIKASI POLITIK

Komunikator Politik pada dasarnya adalah semua orang yang berkomunikasi tentang politik, mulai dari obrolan warung kopi hingga sidang parlemen untuk membahas konstitusi negara.

Namun, yang menjadi komunikator utama adalah para pemimpin politik atau pejabat pemerintah karena merekalah yang aktif menciptakan pesan politik untuk kepentingan politis mereka. Mereka adalah pols, yakni politisi yang hidupnya dari manipulasi komunikasi, dan vols, yakni warganegara yang aktif dalam politik secara part timer ataupun sukarela.

Komunikator politik utama memainkan peran sosial yang utama, teristimewa dalam proses opini publik. Karl Popper mengemukakan “teori pelopor mengenai opini publik”, yakni opini publik seluruhnya dibangun di sekitar komunikator politik.
Komunikator Politik terdiri dari tiga kategori: Politisi, Profesional, dan Aktivis.
Politisi adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, seperti aktivis parpol, anggota parlemen, menteri, dsb.;

Profesional adalah orang yang menjadikan komunikasi sebagai nafkah pencahariannya, baik di dalam maupun di luar politik, yang uncul akibat revolusi komunikasi: munculnya media massa lintas batas dan perkembangan sporadis media khusus (majalah internal, radio siaran, dsb.) yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Terdiri dari jurnalis (wartawan, penulis) dan promotor (humas, jurubicara, jurukampanye, dsb.).

Aktivis – (a) Jurubicara (spokesman) bagi kepentingan terorganisasi, tidak memegang atau mencita-citakan jabatan pemerintahan, juga bukan profesional dalam komunikasi. Perannya mirip jurnalis. (b) Pemuka pendapat (opinion leader) –orang yang sering dimintai petunjuk dan informasi oleh masyarakat; meneruskan informasi politik dari media massa kepada masyarakat. Misalnya tokoh informal masyarakat kharismatis, atau siapa pun yang dipercaya publik.
 

KOMUNIKASI POLITIK

Komunikasi Politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru.
Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”.

Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.

Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR
Konsep, strategi, dan teknik kampanye, propaganda, dan opini publik termasuk dalam kajian bidang ilmu komunikasi politik.
 
Beberapa Definisi

Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”

Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.
Process by which a nation’s leadership, media, and citizenry exchange and confer meaning upon messages that relate to the conduct of public policy. (Perloff).
Communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict (Dan Nimmo).
Kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik. Cakupan: komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, persuasi, media, khalayak, dan akibat.

Communicatory activity considered political by virtue of its consequences, actual, and potential, that it has for the funcioning of political systems (Fagen, 1966).
Political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system (Meadow, 1980).

Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa –”penggabungan kepentingan” (interest aggregation” dan “perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy. (Miriam Budiardjo).

Jack Plano dkk. Kamus Analisa Politik: penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti komunikator, pesan, dan lainnya. Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah, atau parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat ditemukan dalam setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor parlemen.

Wikipedia: Political communication is a field of communications that is concerned with politics. Communication often influences political decisions and vice versa. The field of political communication concern 2 main areas: 1. Election campaigns - Political communications deals with campaigning for elections. 2. Political communications is one of the Government operations. This role is usually fullfiled by the Ministry of Communications and or Information Technology.

KOMUNIKASI POLITIK SEBUAH NEOLOGISME

Titik tekan dalam teori-teori ilmu sosial adalah kelompok-kelompok atau struktur-struktur yang ada di masyarakat. Individu-individu, pada sebagian besar aliran ilmu sosial, tidak dilihat sebagai inti masalah. Peran individu biasanya dilewatkan begitu saja sebagai alat penggerak roda struktural.
Dalam ilmu sosial, terutama dari aliran naturalistis-fungsionalis-mekanistis-behaviorisme, individu dianggap sebagai aktor yang melakukan tindakan hanya semata-mata sebagai akibat rangsangan sosial yang melembaga. Praktek penafsiran makna individu terhadap interaksi sosial bukanlah hal yang signifikan untuk mendapat tanggapan teoritis.

Namun demikian, dewasa ini tumbuh juga berbagai aliran yang lebih humanis, yang melihat justru individu-individu yang berinteraksilah yang membentuk struktur. Kelompok aliran ini biasanya disebut sebagai kelompok kualitatif, yang didalamnya terdapat banyak sayap-sayap kajian. Dan interaksi itu dilihat sebagai sebuah pertukaran sosial yang acak (chaos), konvergen, atau sirkular, dimana siapa yang mempengaruhi apa tak lagi bisa terurai.

Dalam perdebatan tersebut, muncullah apa yang disebut kajian Komunikasi. Banyak tafsir terhadap kajian yang baru muncul di pertengahan abad dua puluh ini. Selain terbelah diantara kedua kubu tersebut, Komunikasi juga pecah ketika sebagian orang menyebutnya sebagai ilmu yang berdiri sendiri (mazhab Jerman) dan sebagian lagi menyebutnya bagian dari Sosiologi.

Selain itu ada juga yang menyebutkan ia merupakan anak kandung dari Psikologi. Psikologi dan Komunikasi memang dekat. Keduanya sama-sama membahas tentang manusia. Namun, titik pecahnya terdapat pada kualitasnya, dimana ketika Psikologi berkutat pada internal diri, yakni kejiwaan, komunikasi bergulat pada interaksi manusia.
Pengertian komunikasi sebagai proses interaksi manusia kemudian membuatnya berfokus pada simbol-simbol, seperti berbagi simbol, memahami simbol, bahkan memanipulasinya. Interaksi simbolik ini kemudian saling bergandengan dengan studi media, cultural studies, fenomenologi, semiotika, posmodernisme, posstrukturalisme, etnografi, etnometodologi, dramaturgi, dekonstruksi, dan berbagai studi lainnya sebagai bagian yang erat dari tubuh komunikasi dalam memahami manusia dari titik pandang yang khas, meskipun tidak selamanya bisa ditemukan dengan jelas dimana batas antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain.

PROPAGANDA POLITIK MELALUI MEDIA MASSA

Propaganda : Sebagai Pendekatan Persuasi Politik
Konseptualisasi

Menurut Dan Nimmo (1993), ada tiga pendekatan kepada persuasi politik, yakni propaganda, periklanan dan retorika. Semuanya serupa dalam beberapa hal yakni bertujuan (purposif), disengaja (intensional) dan melibatkan pengaruh; terdiri atas hubungan timbal balik antara orang-orang dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayaan, nilai dan pengharapan pribadi. Tentu saja ketiganya juga memiliki kekhususan yang membedakan satu dengan lainnya.

Banyak ahli mendefinisikan persuasi, salah satunya adalah Erwin P. Bettinghaus (1973). Menurut dia, persuasi tidak lain adalah usaha yang disadari untuk mengubah sikap, kepercayaan atau prilaku orang melalui transmisi pesan. Bisa saja, banyak definisi yang dikemukakan, tapi diantara karakteristik umumnya persuasi selalu melibatkan tujuan melalui pembicaraan. Sifatnya juga dialektis dan merupakan proses timbal balik. Dalam hal ini dengan sengaja atau tidak menimbulkan perasaan responsif pada orang lain. Selain dia juga bercirikan kemungkinan.
Dari ketiga pendekatan persuasi seperti disebut diatas, propaganda memiliki catatan konseptual dan histroris yang menarik untuk diamati. Menurut Jacques Ellul (dalam Dan Nimmo, 1993), propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.

Istilah propaganda ini dapat ditelusuri hingga masa Paus Gregorius XV yang membentuk suatu komisi para kardinal, Cengregatio de propaganda Fide, untuk menumbuhkan keimanan kristiani diantara bangsa-bangsa lain. Namun pada perkembangannya propaganda meluas ke wilayah politik, yakni diperuntukan untuk memperoleh pengaruh dan pada akhirnya kekuasaan. Praktek propaganda misalnya pernah dilakukan Partai Nazi, Hitler. Dengan manipulasi lambang, dan oratori yang penuh emosi Hitler membangkitkan rasa identifikasi, komitmen dan kesetiaan khalayak. Kata-kata yang sangat populer waktu itu “Ein Volk, ein Reich,ein Fuhrer” (satu bangsa, satu imperium, satu pemimpin).
Ellul membuat tipologi propaganda yang menarik. Menurutnya, ada tipe propaganda politik dan tipe propaganda sosiologi. Yang pertama, beroperasi melalui imbauan-imbauan khas berjangka pendek. Biasanya melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis. Sementara yang kedua, tipenya berangsur-angsur, merembes ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik. Melalui propaganda orang disuntik dengan suatu cara hidup atau ideologi. Hasilnya, suatu konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan setia dipatuhi oleh setiap orang kecuali beberapa orang yang dianggap sebagai “penyimpang (deviants)”.
Berkaitan dengan konsepsi ini dikenal adanya propaganda agitasi dan propaganda integrasi. Agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita dalam tahap-tahap yang merupakan suatu rangkaian. Sementara integrasi menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda ini orang-orang mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun.

Propaganda Vertikal : Satu-Kepada-Banyak

Propaganda dalam realitasnya mengambil bentuk vertikal dan horizontal. Bentuk yang pertama adalah representasi propaganda satu-kepada-banyak (one-to-many). Sementara propaganda horizontal bekerja lebih di antara keanggotaan kelompok ketimbang dari pemimpin kepada kelompok. Artinya yang kedua lebih banyak menggunakan komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi, ketimbang melalui komunikasi massa.
Kalau dulu komunikasi satu-kepada-banyak mungkin diwakili oleh propagandis-propagandis lewat pidato-pidato keliling di depan kumpulan partisan mereka, tapi sekarang hal ini lebih sering dilakukan melalui media massa.
Ada beberapa hal pokok yang biasa dilakukan dalam propaganda. Dalam bukunya Dan Nimmo (1993) mengulas ada 7 teknik propaganda penting yang memanfaatkan kombinasi kata, tindakan dan logika untuk tujuan persuasif. Pertama, name calling, memberi label buruk kepada gagasan, orang, objek atau tujuan agar orang menolak sesuatu tanpa menguji kenyataannya. Misalnya menuduh lawan pemilihan sebagai “penjahat”. Kedua, glittering generalities, menggunakan “kata yang baik” untuk melukiskan sesuatu agar mendapat dukungan, lagi-lagi tanpa menyelidiki ketepatan asosiasi itu. Misal AS menyebut operasi mereka ke Afghanistan beberapa waktu lalu sebagai “Operasi Keadilan Tak Terhingga”, dengan misi “hukum tanpa batas” begitu juga saat merencanakan serangan ke Irak, AS menyebutnya sebagai misi kemanusiaan untuk membebaskan manusia dari teror senjata pemusnah massal.
Ketiga, transfer, yakni mengidentifikasi suatu maksud dengan lambang autoritas, misalnya “pilih kembali Mega di Pemilu 2004”. Keempat, testimonial, memperoleh ucapan orang yang dihormati atau dibenci untuk mempromosikan atau meremehkan suatu maksud. Kita mengenalnya dalam dukungan politik oleh surat kabar , tokoh terkenal dll. Kelima, plain folks, imbauan yang mengatakan bahwa pembicara berpihak kepada khalayaknya dalam usaha bersama yang kolaboratif. Misalnya, “saya salah seorang dari anda, hanya rakyat biasa”. Keenam, card stacking, memilih dengan teliti pernyataan yang akurat dan tidak akurat, logis dan tak logis dan sebagainya untuk membangun suatu kasus. Misalnya kata-kata “pembunuhan terhadap pemimpin kita, benar-benar menunjukan penghinaan terhadap partai kita !”. Ketujuh, bandwagon, usaha untuk meyakinkan khalayak akan kepopuleran dan kebenaran tujuan sehingga setiap orang akan “turut naik”.
Prinsip satu-kepada-banyak yang menjadi pegangan propaganda, semakin menemukan momentumnya seiring dengan berkembangnya media massa. Orde Baru misalnya, secara terus menerus memanfaatkan TVRI sebagai ideological state aparatus. Dengan mengusung propaganda “pembangunan”, dalam waktu yang relatif lama mampu bertahan melakukan korporasi terhadap hampir segenap lapisan masyarakat. Persuasi model ini terus dilakukan sehingga rakyat mengidentifikasikan diri menjadi bagian dari anggota Orde Baru.
< span/>

PENGARUH MEDIA MASSA PADA SESEORANG

Media berpengaruh terhadap individu. Untuk mengetahui hal itu telah diadakan beberapa penelitian atau studi komunikasi. Studi-studi tersebut mendorong lahirnya "Teori Peluru Ajaib" atau yang disebut juga "Teori Jarum Hipordemik" dan "Teori Stimulus-Respons (S-R).
Kesimpulan dari studi-studi komunikasi lainnya dapat dikatakan bahwa ada kalangan yang dapat dipengaruhi secara kuat, namun ada juga yang kurang bisa dipengaruhi. Hal tersebut tergantung dari kapasitas seseorang untuk mengambil keputusan intelegensi atau yang disebut daya kritis.
Erie Country Study menemukan bahwa media massa tidak mengontrol cara berpikir pemilih. Media massa disini lebih berfungsi untuk memperteguh keyakinan yang ada. Tiga bentuk pengaruh media tersebut adalah aktivasi, penguatan dan konversi.
Studi Lazarsfeld dan kawan-kawan memperkenalkan sebuah konsep baru tentang Arus Komunikasi Dua Tahap. Dua tahap komunikasi tersebut adalah komunikasi dari media ke pemuka pendapat dan dari pemuka pendapat ke masyarakat. Studi ini mengatakan bahwa bukanlah pengaruh media, melainkan pengaruh personal pemuka pendapat tersebut.
Klapper menyimpulkan bahwa media massa tidak dengan sendirinya menyebabkan khalayak menjadi lebih apatis, pasif maupun agresif, namun (mungkin sekali) memperkuat kecenderungan-kecenderungan yang telah ada di kalangan penerima.
Pada periode selanjutnya berkembang dua model yaitu pendekatan "uses gratificaton" dan "agenda setting". Pendekatan "uses gratification" menunjukkan bergesernya fokus penelitian dari sumber ke komunikan. Sedangkan pada pendekatan" agenda setting" memfokuskan perhatian pada efek media massa terhadap pengetahuan.